Wednesday, November 15, 2006

aku masih dipekaranganmu.menunggu

selayaknya perjalanan yang tertinggal akan tinggal seperti percakapan dan yang kekal seperti rindu mungkin akan tergerus pahit yang kau kaitkan menjadi airmata yang tertahan

aku masih di pekaranganmu
menunggu

secangkir kopi dan sepotong kemeja bersih sudah berbulan-bulan aku tak membersihkan diri tak pernah mandi sejak tergelincir ke kubangan lumpur di sebuah negeri yang basah dimana rumah-rumah tanpa mimpi berjajar vertikal dan orang-orang terduduk disudut tertawa tanpa suara
sejak itu kutinggalkan usia mengembara mengikuti matahari melangkahi belasan negeri harus kukabarkan kepada siapa tentang hutan-hutan yang kalah tentang amis asap serta ceceran darah dan perempuan-perempuan yang terbaring pasrah di sudut pasar yang redup

aku masih di pekaranganmu
menunggu

kuhela namamu dengan lirih rindu maghrib perlahan melerai matahari jemari lentikmu nyalakan lentera dari surau tua suara azan mengurung senja
ingin kuucapkan salam tapi aku tahu kau takkan menyahut karena itu dusta aku tak cuma singgah tapi ingin tinggal disini aku mencintai lembut bicaramu yang kuharapkan kau usapkan pada dahi anak-anakku supaya mereka tahu dibalik kata-kata yang terbakar subuh selalu sediakan embun yang menyejukkan agar mereka tak seperti diriku menolak-nolak yang patut tanpa pernah tahu tuhan ada di sekeliling

aku masih di pekarangannmu
menunggu

harummu akan menyenyakkan letihku kekasih berikanlah sajadahmu untukku bersimpuh mengakui segala salah berdiang dari dinginnya dosa sebelum kujabat tanganmu atas nama rasa yang berulang-ulang diceritakan leluhur kita bermula pada adam dan hawa
malam merah jambu takkan berakhir disini mendekatlah ke pangkuanku akan kuceritakan tentang perempuan yang rindu dicumbu tanpa nafsu dan laki-laki pucat terkurung dibalik jeruji kata akan kujelaskan makna sebenarnya perjalanan pulang tapi jangan menoleh masa lalu tak pernah utuh apa-apa yang kau ingat tak selalu lempang seperti tiap kali lepas dari keseharian kau meragu tentang sebuah pengertian
hari tambah malam cahaya lentera kian samar dari balik lekuk karang sepasang bintang letih berkejaran layaknya rakit yang kelelahan merindukan bibir sungai kurasakan nyeri menusuk pinggang dari belakang angin yang di persimpangan tak mampu membelokkan aroma kematian
yang kekal seperti ajal akan tetap disana bersanding dengan keranda
akankah kau bukakan pintu atau maut lebih dulu merenggutku?

aku masih di pekaranganmu
menunggu


jakarta,november 2006

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home